Ini bukan sekedar MOS dengan membawa tas gandum, yang isinya pupuk kotoran kandang dengan tanaman palawija. Dan disuruh membawa makanan aneh-aneh dari kakak panitia yang kurang kerjaan. Gue rasa hanya masa-masa sekolah pertama yang biasa, dengan pengalaman dikerjai kakak kelas, kakak kelas yang mencoba jadi senior bermuka tua.
Lihat aja, tampang-tampang yang jadi panitia MOS, nggak ada yang wajahnya santai sama juniornya, misal matanya itu berkedip, santai nggak ada beban yang ditahan kedipannya, sampek mata perih. Beda kalau panitia yang menjadi senior bermuka tua, pasti wajah-wajahnya datar kayak mayat idup, lurus, walaupun mukanya berjerawat segede upil 2,5 ons pun tetep pede, jerawatnya bikin nyut-nyutan tetep ditahan, hingga jerawatnya pecah tetep dianggap amnesia rasanya. Hingga gaya ngedipin mata aja diatur agar terlihat serem. Matanya melotot, terus saat kedip, dengan gengsinya sampai nggak fals berkedip dihadapan juniornya. Itu caranya gimana, gue bingung juga nggak tau teorinya. Apalagi kalau matanya kelilipan, tetep berusaha menahannya walau matanya perih, hingga beleken sampai merah bernanah pun dilakoni ditahan sekuat tenaga. Orang kebelet boker aja kalau ditahan itu rasanya ngilu gigit bibir, apalagi mata belekan, keram ototnya buat nahan. Itu demi julukan : senior bermuka tua yang nggak fals.
Sampai akhirnya Masa Orientasi Siswa udah kelar, tapi keadaan mental gue sendiri malah jadi sekarat, setelah diluar prediksi selama MOS. Mental anak STM bukannya harus jadi mental baja tapi malah diawali dengan mental tempe, gara-gara MOS.
Itu karena keadaan temen-temen kelas. Bukan karena senior yang nyuruh bawa macem-macem, dan ngebentak-bentak juniornya dengan suara menyerupai aparat yang gagal. Nyempreng amat ngebentaknya, apalagi dengan vibra yang menyerupai nenek lampir menggigil kedinginan.
Huh, temen-temen kelas diluar dugaan. Apa yang bakal terjadi dengan 4 lelaki dalam 28 wanita dalam satu kelas? TIDAAAAK ! Ini seriusan? Semoga aja 28 wanita itu banyak yang berkelamin ganda, terus operasi memilih jadi lelaki. Aminn. Aneh banget kan satu kelas lakinya hanya ada 4.
OOO
Diawali pertama masuk STM dengan memilih satu jurusan diantara sembilan yang lain, semangat memilih jurusan dengan : icik icik kebum-bum ala kebungbung, jurusan yang dipilih pasti nyambung. Ehem ehem.
Yap! Dengan nggak memikirkan apa-apa, gue memilih seperti menghitung kancing baju, banyak banget sob jurusannya, ada 9 soalnya! Gue memilih dengan cara icik-icik kebum-bum tersebut jadinya. Mau nyoba dengan cara cupacup kembang kuncup, tapi nggak jadi, gue udah terlanjur terlena sih dengan icik-icik kebum-bum.
Terus jatuhlah dalam pilihan jurusan Kimia Industri. Gue langsung tertarik aja dengan pilihan tanpa sengaja itu.
‘Bapak, pak..aku milih jurusan ini!’ Gue bilang sama bapak dengan wajah sumringah dengan tersenyum giginya keliatan.
‘Yakin kamu, Wan?’
‘Yakin bapak. Paling banyak diminati, terus kayaknya menarik.’
Gue pikir dengan sok tau, gue kalau milih jurusan ini, gue bakal menjadi ahli kimia. Terus gue bakal meramu-ramu cairan kimia seperti di tipi-tipi. Cairan warna ijo ditambah warna merah dan dikombinasikan dengan warna lain seperti oranye misalnya. Hasilnya akan bereaksi lalu ‘BOOM!’ Jadi rambu-rambu lalu lintas. Eh bukan. Hasilnya akan meledak, suaranya ‘BOOM!’ seperti kentut meletus dibarengin ledakan ban meletus ketancep kawat. Percobaan yang gagal sepertinya sodara-sodara.
Itulah ke-keren-an seorang ahli kimia dengan percobaan yang gagal, lalu melakukan percobaan lagi hingga wajahnya gosong kena ledakan. Hingga pada suatu percobaannya berhasil. Tapi raut wajahnya udah nanggung banget kayak aspal, saking gosong yang terlanjur akut, akibat kena ledakan dari percobaan yang selalu gagal. Entah kenapa itu yang selalu dibenak, mungkin karena otak gue udah terkontaminasi akut dengan acara nggak bermutu di tipi-tipi. Tapi masih ada alasan lain mantab milih jurusan Kimia Industri. Alasan itu adalah : jurusan elite. Cie, elite.
Berlanjut peroses selanjutnya saat itu, mengisi form pendaftaran, dengan bapak gue sibuk mondar-mandir nyariin sesuatu yang aneh. Bapak gue nyariin cemilan buat pengganjal perut. Soalnya lama nungguin antree, kelaperan bapak gue barang kali. Bingung bapak gue, sekolahnya luas banget. Padahal yang gue butuhin itu adalah pulpen buat ngisi form pendaftaran, malah bapak gue sibuk bertanya pada pihak sekolah.
‘Maaf pak, kalau beli makanan kecil enaknya dimana ya? Seperti keripik singkong?’
‘Di kantin sekolah, nanti dari sini terus lurus aja sampai ketemu masjid mujahidin itu, nah deket situ pak. Tapi kalau keripik singkong, nggak ada pak sepertinya. Adanya keripik kentang.’ Jawab bapak-bapak yang rambutnya berponi setengah.
Betapa nggak pentingnya gitu, masa-masa pendaftaran pelajar baru, malah asik ngomongin keripik buat cemilan. ‘Pak, beli pulpen, beli pulpen jangan lupa, pulpennya lupa kebawa, ini cuma ada pensil pak!’ Pinta gue yang sedang duduk di lantai Auditorium depan.
‘Lupa bawa pulpen, Wan? Teledor kamu itu! Teledor!’ Kebiasaan bapak, ngatain gue anak yang teledor. Karena gue suka cuek-cuek terhadap sesuatu pas lagi dibutuhkan.
‘Hehe. Sekalian juga materai 6000 juga ya pak?’ Pinta gue lagi.
‘Loh teledor lagi kan!’ Ketus bicara bapak.
‘Loh kan emang belum beli materainya, gimana sih pak.’
‘Oh yaudah, tunggu disini sebentar, Wan.’ Bapak gue lalu nyamperin kantin.
Keadaan sekitar Auditorium yang rame akan bapak-bapak yang berisik terhadap kebutuhan anaknya, dan para anaknya yang seolah-olah menjadi bos. Karena nyuruh-nyuruh orangtuanya buat beli ini dan itu. Seolah-olah hari pendaftaran waktu itu adalah masa penderitaan orangtua. Kasihan bener ada seorang bapak yang stres hingga anaknya rewel dan nangis. Bapak itu bingung, antara beli kebutuhan seperti pulpen atau beli balon buat anaknya yang nangis. Ini padahal bukan acara kuda lumping, yang banyak abang-abang jualan balon. Anak macam apa mau masuk STM aja rewel. Seperti bayi aja anak itu. Kasihan orangtuanya jadi tambah stres kuadrat. Hingga wajahnya menyerupai zombie yang matanya nggak bisa kedip. Matanya melotot terus semacam zombie bengong. Tapi matanya nggak beleken. Masa zombie matanya beleken, nggak keren amat.
Nggak menunggu lama, bapak gue datang membawa kabar gembira dengan nentengin sesuatu di kedua tangannya, bahwa ternyata keripik singkongnya dijual dikantin, pulpen dan materai 6000nya kebeli. Dan gue menanggapinya biasa aja, nggak sampai, ‘Hore..hore..hore..bapak bawa kabar gembira..hore..’ Sambil loncat kegirangan.
Selanjutnya gue ditemenin bapak, mengisi form itu dengan sebenar-benarnya. Bapak gue nggak peduli, yang dia pedulikan makan keripik singkongnya sambil duduk disamping gue. Santai banget bapak gue, dengan cemilan keripik singkongnya. Nggak seperti bapak yang tadi, stress gara-gara anaknya nangis entah kenapa. Pasti bapak itu bingung mau nyari balon kemana.
OOO
Nah! Pasti kaget, gue belum ngasih tau bahwa di STM Pembangunan tempat gue sekolah ini, masa belajarnya 4 tahun. Dan di jurusan gue ini lakinya beneran hanya ada 4, sisanya para wanita yang belum jelas pribadinya seperti apa. Entah itu kalem, beringas, baik, lebay, dan gila.
Sekolah yang aneh karena 4 tahun, ditambah kelas yang diluar bayangan gue dengan notabennya STM. Gue ini mimpi, gue kayaknya lagi mimpi. Berasa paling ganteng sendiri di kelas. Tapi macam mana pula sekolah baru yang bakal jadi kehidupan gue selanjutnya ini. Nggak seperti keinginan gue banget.
Awal-awalnya STM akan membuat gue gagah dan menjadi laki yang berjiwa keras. Emang bener sih, itu buat jurusan lainnya yang penuh dengan laki, seperti jurusan otomotif. Tapi nggak di jurusan gue ini, kayak bukan STM, melainkan SMEA yang penuh calon ibu-ibu PKK atau tata boga. Stress sendiri gue, 28 wanita yang belum bisa gue maklumi. Salah gue juga, waktu pendaftaran nggak memantau hingga pengumumannya, gimana anak-anaknya yang masuk di jurusan Kimia industri ini.
‘Hei, hei, ssst..ssst.’ Gue nyapa salah satu lelaki yang ada, saat hari pertama masuk sekolah sehabis MOS. ‘Nama lo siapa? Gue lupa.’ Gue ajak salaman.
‘Gue Angga, lo Ridwan kan?’ Jawab dia dengan kalem dengan senyumnya yang aneh, kayak lagi sariawan bibirnya gemeteran.
‘Ridwan, iya, eh, Ngga, ini nggak salah kelas kita?’
Gue sama Angga duduk sebangku, dan paling belakang pojok kanan. Sementara 2 laki yang lain sebelahnya.
‘Kayaknya sih enggak.’ Jawab dia slow.
‘Kayaknya salah, ini kan STM, bukan SMEA?’
‘Bentar gue cek dulu.’ Dia lalu tengok ke depan, tanya sama wanita berkacamata. ‘Eh, eh, ini STM kan? Bukan SMEA?’
Jawab wanita itu, ‘Nggak tau juga, bentar.’ Wanita itu tanya sama temen sebangku. ‘Tem, tem, ini sekolah apasih.’
‘Ini sekolah buat masa depan kita, pokoknya kita harus semangat, Tuyul.’ Jawab dia dengan menepukkan tanggannya, jawaban dia yang melenceng dari maksud.
‘Semangat!’ Jawab wanita berkacamata dengan genggaman tangannya yang diangkat, namanya wanita itu Tuyul. ‘Tapi Tem, ini kok bau busuk apaan ya Tem? Bikin nggak semangat banget.’ Tanya Tuyul lagi sambil nutup idungnya.
Mungkin mendengar omongannya Tuyul, Angga langsung meresponnya. ‘Eh, bentar ya, gue mau keluar kelas dulu.’ Pamit Angga dengan lubang idungnya ngos-ngosan dan bibir gemeteran. Tanda-tanda kebelet boker.
‘Oke.’ Jawab gue singkat.
Wanita depan gue ini sangat antusias banget, yang satu kecil berkacamata yang dijuluki Tuyul. Tingkahnya hiper, ini wanita udah gue pahami kalau ibunya hiper ngasih asi waktu bayi, gilak omongannya cepet banget. Dan yang satunya gede bongsor, gemuk mukanya bulet. Namanya Tami, dipanggil Temi. Nah, yang ini calon motivator, kerjaannya ngasih semangat muluk.
Gue sama Angga sempat berdiskusi kecil bersama mereka, tentang kelas sampai pengalaman masing-masing. Nggak abis pikir, gue sampek ketawa terbahak-bahak saat itu, gue tertawa terbahak-bahak karena stress. Wanita yang satu omonganya cepet amat dengan bibirnmya yang kayak roda balap. Yang satunya kayak monster penyemangat hidup, dengan sifatnya kayak mbak-mbak sales panci, yang datengin tiap rumah-rumah, dengan semangatnya menggebu-gebu nawarin buat beli panci anti karat dan lengket.
Dua wanita yang baru gue kenal aja udah bikin gue stres dengan banyak pertanyaan, ‘Heh? Manusia macam apa lo? Turun dari planet mana lo? Ibu lo beneran manusia kan? Asinya asi normal kan?…’ Gimana dengan sisa wanita yang lain, 26 wanita yang belum gue pahami betul.
Seminggu, hingga sebulan lamanya gue menjalani hari-hari yang menyebalkan. Soalnya sob, para wanita yang awalnya masih kalem belum muncul sifat aslinya, setelah beberapa bulan, seiring akrabnya dengan temen-temen baru di kelas munculah sifat asli mereka : hobi ngerumpi.
Sebagai anak STM, istilah ngerumpi untuk bergosip ria itu hal yang tabu, untuk diperbincangkan dan dikupas dengan tajemnya setajem silet. Fenny Rose banget para wanita itu. Kalau udah ada topik yang hangat yang dibicarain wanita sebangku, telinga para wanita yang lain langsung peka gerak-gerak, tajem bener reaksinya, lalu mereka nimbrung sumbernya dan mulailah topik itu sampai dikupas tuntas dengan gosip-gosip ala anak STM masa kini. Dengan alay binti santai.
Gue geleng-geleng nggak bisa mencernanya, berasa terjebak beneran dalam ibu-ibu arisan yang lagi gosip santai. Berisik banget mereka, seriusan mereka itu manusia dengan kelebihan asi campur cendol masa bayinya. Omongannya wanita satu, langsung disambar omongan wanita yang lain, disamber lagi dan disamber lagi. Seperti kalau lagi ngetweet, elo sob, bisa ngetweet puluhan kali dalam sedetik. Ya kayak para wanita itu, satu detik yang cerewet banyak, nggak cuma satu mulut, tapi puluhan mulut. Keren nggak tuh, sampai bikin kuping gue tetep nggak ada tahannya walau pakek headset dengan musik keras. Tetep aja suara para wanita ngejebol musiknya hardcore.
Awal sekolah harusnya dengan ceria-ceria wajahnya. Dan semangat duduk di bangku kelas masing-masing. Itu nggak berlaku bagi gue, mungkin Angga, Bondan, dan Andri hampir berpikiran sama dengan gue.
‘Ngga, gue beneran stres di kelas, berisik banget wanitanya.’ Gue sambil nyeruput es kelamud.
‘Haha, kalem aja, Wan.’ Jawab dia santai.
Gue lagi makan dikantin depan laboratorium, bersama ketiga lelaki. Menikmati semangkuk mi ayam saat istirahat pertama.
‘Gimana kalau kalian?’ Tanya gue sama Bondan dan Andri.
‘Gue suka.’ Jawab Andri.
‘Gue juga.’ Jawab Bondan.
Gue pikir, mereka pada suka soalnya suka ngerumpi juga sama para wanita. Dan ternyata benar. Sering kali waktu pelajaran teori belum dimulai, gue baru menyadari mereka asik gabung dalam forum-forum ngerumpi ria.
Ini seperti kesan MOS yang berbeda buat gue beserta ketiga lelaki.
Angga, MOS (Masa Orang Santai)
Andri dan Bondan, MOS (Masa Orang Suka-suka)
Gue, MOS (Masa Orang Stress!)
Gue bukan lagi stress gara-gara para wanita yang aneh. Tapi sekarang gue stress gara-gara kaum gue sendiri. Yaitu ketiga lelaki lain ternyata juga sama-sama aneh. Gue berasa masuk planet aneh, dengan nama planetnya ‘Planet Kelas Aneh Laki Aneh Wanita Juga Aneh.’ Kepanjangan banget ya namanya, disingkat aja dengan sebutan : Planet KALAWAJA.
Dan nama planetnya pun : ANEH!
OOO